Friday 28 September 2012

Tafsir Jami’ al-bayan fi Ta’wili al-Quran Karya Ath-Thabariy


Bahtsul Kutub Tafsir Jami’ al-bayan fi Ta’wili al-Quran
Karya Ath-Thabariy
BAB I
Pendahuluan
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Dimasa silam, perhatian ulama tafsir terhadap metodologis dalam penafsiran al-Quran boleh disebut sangat kurang. Mereka lebih cenderung langsung membahas wacana, tanpa berpikir atau menetapkan terlebih dahulu teori-teori atau kaidah-kaidah yang digunakan untuk sampai pada wacana tersebut. Namun tidak berarti mereka tidak mempunyai teori tentang itu, malah tidak mustahil pada umumnya mereka menguasai teori itu dengan baik, karenanya mereka merasa tak perlu membahasnya sebab sia-sia karena tidak akan mendapat perhatian yang berarti dari khalayak.[1]
Banyak cara untuk mempelajari penafsiran oleh para Mufassir pada zaman dahulu salah satun ya dengan membahas kitab Jami’il Bayan Fi Ta’wilil Qur’an Tafsir At-Thabari yang telah lama menjadi rujukan oleh para mufassir sampai masa sekarang, karena tidak hanya mengedepankan akal fikiran semata tetapi juga menggunakan tafsir bil ma’tsur.


BAB II
Pembahasan
A.    Biografi Penulis
Ibnu Jarir at-Tabariy adalah seorang ahli tafsir terkenal dan sejarawan terkemuka. Nama lengkap at-Tabari adalah Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ja’far Ibnu Yazid Ibnu Kasir. Ibnu Ghalib at-Tabari (selanjutnya disebut dengan at-Tabari). Ia di lahirkan di Amul ibu kota Tabaristan, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia dan terletak di sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin. Pada tahun 224/225H atau sekitar tahun 839-840. Ada juga yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Yazid ibn Kasir ibn Galib. Ia dilahirkan di kota Amul, ibukota Tabariystan Iran pada tahun 224 H. (839 M), dan meninggal 310 H.[2]
At-Tabariy hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiyah mendorongnya mencintai ilmu semenjak kecil. at-Tabari juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Mengkaji dan menghafal al-Qur’an merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan subur pada anak keturunan mereka termasuk at-Tabari. Dedikasinya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan sudah terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Salah satu prestasinya adalah ia telah menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun dan Ibnu Sina sekitar 10 tahun.[3]
Al-Tabariy berkelana mencari ilmu, silih berganti guru-guru yang didatanginya, begitupun kota-kota yang dikunjunginya dalam rangka menuntut ilmu. Setelah selesai di Persia, ia berkunjung ke Irak dan ketika dalam perjalanan menuju bagdad ia mendengar wafatnya Imam ibn Hambal (w. 863)  lalu ia berguru ke Basrah dengan Ibnu al-A’la al-Hamzaniy, Hannad Ibn al-Sayriy dan Ismail ibn Musa dan dalam bidang fiqh khususnya mazhab Syafi’I ia berguru pada al-Hasan ibn Muhammad al-Za’faraniy. Dari Irak ia menuju ke Mesir, dalam perjalanan kesana ia singgah di Beirut untuk memperdalam ilmu qira’at, kepada al-Abbas ibn al-Walid al-Bairuniy, di Mesir ia bertemu dengan sejarawan kenamaan yakni Ibnu Ishaq dan atas jasanyalah al-Tabariy mampu menyusun karya sejarahnya yang terbesar yaitu Kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk .[4]
Di Mesir, ia juga mempelajari mazhab Maliki disamping ia menekuni mazhab Syafi’I yang ia pelajari  dari murid langsung imam Syafi’I yaitu al-Rabi Jiziy. Selama ia di Mesir semua ilmuan dating menemuinya sambil mengujinya sehingga ia semakin terkenal. Dari Mesir ia kembali ke negeri asalnya Tabariystan, tapi rupanya Allah berkehendak lain yakni pada tahun 310 H (923 M) dengan usia 85 tahun ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Bagdad. [5]
Al-Tabariy begitu arif dan bijaksana, beliau tidak memandang rendah orang lain meskipun Allah swt, memberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak lazim dimiliki oleh orang kebanyakan. Dengan ilmunya yang tinggi, semakin mendekatkannya kepada sang yang maha Kuasa, dan semakin bijaksana menyikapi persoalan-persoalan duniawi.
Al-Tabariy adalah salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan popularitas luas melalui dua buah karyanya Tarikhul Umam wal Muluk tentang sejarah dan Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an tentang tafsir. Kedua buku tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan ilmiah penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang menaruh perhatian terhadap Tafsir bi al-ma’sur,[6] disamping karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis. Secara tepat belum ditemukan data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan terpublikasikan yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya al-Tabariy meliputi banyak bidang keilmuan diantaranya; Bidang Hukum, Tafsir, Hadis, Teologi, Etika Religius dan Sejarah

B.     Metodologi Penafsiran At-Thabariy
Kajian Al-Qur’an kian memperkaya khasanahkeilmuan dalam peradaban Islam dari masa ke masa, produk kajian tersebut cukup beragam dan cenderung sesuai dengan potensi pengetahuan dan spesialisasi para penafsirnya, demikian juga dengan Ibnu Jarir al-Tabariy yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang tentunya ikut mewarnai corak dalam menetapkan makna dan kandungan Al-Qur’an.
Ibnu Jarir al-Tabariy dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca tabi’ tabi’in, karena lewat karya yang monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, mampu memberikan inspirasi baru bagi penafsir sesudahnya[22]. Tafsir al-Tabariy dijadikan referensi utama oleh para penafsir sesudahnya, karena keluasan dan kedalaman pembahasan penafsirannya.
Adapun langkah-langkah Ibnu Jarir al-Tabariy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1.         Berlandaskan Penafsiran Bil-ma’tsur
Penafsiran bi al-Matsur adalah salah satu model tafsir yang paling utama dan tertinggi kedudukannya bila dibandingkan dengan model tafsir yang lain, karena dengan menafsirkan Al-Qur’an menggunakan kalam Allah sendiri, perkataan Rasulullah saw., dan periayatan para sahabat. Allah lebih mengetahui akan maksud dan ucapan-Nya, perkataan Rasulullah adlah penjelasnya dan para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.[7]
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam hal ini, memulai menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan mencari tafsiran suatu ayat dari ayat Al-Qur’an yang lain, karena ia yakin bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah satu mata rantai yang tak bisa dipisahkan, seperti ketika beliau menafsirkan kata الظلم  pada surat al-An’am ayat 82 dengan kata الشرك yang ternyata tafsiran tersebut diambil dari surat Lukman ayat 13.
Ibnu Jarir al-Tabariy juga banyak menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis, ia sangat teliti dalam mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pemabawa berita pertama (al-rawi A’la) . Penafsirannya selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat dan jika pada penafsiran  itu terdapat dua pendapat atau lebih maka ia memaparkan semuanya, ia tidak semata-mata menyebutkan riwayat saja tetapi kadang dijelaskan secara rinci dan pada gilirannya mentarjih riwayat-riwayat tersebut.[8]Al-Tabariy tidak begitu saja menafsirkan Al-Qur’an tetapi di dasari berbagai macam pengembaraan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga wajar saja jika hasil pikirannya dijadikan referensi oleh para penafsir sesudahnya.


2.      Corak Penafsiran At-Thabariy
Ibnu Jarir al-Tabariy menguasai berbagai disiplin ilmu teramsuk didalamnya fiqh, maka tidak diherankan jika dalam menafsirkan ayat-ayat hukum beliau selalu mengungkap pendapat ulama yang punya keterkaitan dengan masaalah yang dimaksud, lalu mengemukakan pendapatnya.
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam menyelesaikan persoalan fiqh, maka beliau menjelaskan semua pendapat ulama tentang hal itu, kemudian dikemukakan pendapatnya mengenai masalah tersebut. Seperti ketika ia menafsirkan QS. al-Nahl (16):8:
 تعلمون لا ما ويخلق وزينة لتركبوها والحمير والبغال والخيل
Ibnu Jarir al-Tabariy ketika menafsirkan maksud ayat di atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan pendapat semua ulama tentang hukum makan kuda, kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan kepada pengharaman.


3.         Metode Penafsiran At-Thabariy
Metode penulisan yang digunakan al-Tabariy adalah metode tahlili di mana beliau menafsirkan ayat Al-Qur’an secara keseluruhan berdasarkan susunan mushaf, ia menjelaskan ayat demi ayat, dengan menjelaskan makna mufradat-nya serta beberapa kandungan lainnya.
Metode Tahlili adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahlili diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat..[9]
Ibnu Jarir al-Tabariy menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah qira’at dan memaparkan berbagai macam qira’at dan menghubungkannya masing-masing qira’at tersebut dengan makna yang berbeda kemudian menjelaskan mana qiraat yang paling kuat.
Terkadang ia menolak suatu qira’at jika tidak disandarkan kepada tokoh-tokoh atau ulama-ulama qira’at sebagai qira’at yang bisa dijadikan argumentasi, Seperti dalam mengomentari firman Allah Qs. al-Anbiya (21):81:
ولسليمان الريح عاصفة                 
diterangkan oleh al-Tabariy bahwa pada umumnya para ahli qiraat membaca الريح dalam ayat tersebut dengan anggapan bahwa kata tersebut adalah مفعول به dari kata kerja سخرنا pada ayat sebelumnya yakni QS. al-Anbiya (21): 79:
                                                وسخرنا مع داود
Sedangkan menurut Imam Abdul Rahman al-A’raj, dibaca الريح karena dianggapnya sebagai مبتدء . Kemudian al-Tabariy berkata: “Adapun bacaan yang tidak dibenarkan adalah selain dari yang dua macam itu, karena selain keduanya tidaklah dianut oleh para ahli qira’at  dan tidak mereka sepakati.
Ibnu Jarir al-Tabariy selalu memperhatikan perbendaharaan kosa kata dalam dalam memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an seperti ketika menafsirkan kata al-buruj (البروج) pada ayat pertama surah al-buruj.
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam hal ini memaparkan beberapa makna dari kata al-buruj yaitu sesuatu yang nampak, kata ini sering digunakan dalam arti bangunan besar atau istana yang tinggi karena kebesaran dan ketinggiannya menjadikan ia tampak, benteng juga dinamakan al-buruj  karena ia biasanay merupakan bangunan pertama yang Nampak sebelum memasuki kota. Apapun makna menurutnya, yang jelas ayat ini bermaksud menggambarkan sesuatu yang agung.
Setelah memaparkan beberapa makna dari al-buruj barulah beliau menyimpulkan bahwa kata al-buruj adalah bentuk jamak dari al-burj, yang berarti gugusan bintang yakni letak bintang yang tampak di langit dalam bentuk yang beragam.





BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
      Nama lengkap   al-Tabariy  adalah Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath Thabari. Sesuai dengan namanya, dapat diketahui bahwa beliau dilahirkan di Tabariystan,  wilayah pegunungan di Persia ( sekarang termasuk wilayah Iran) yang tepatnya terletak di sebelah selatan laut Kaspia.  Ia dilahirkan di kota Amul, ibukota Tabariystan Iran pada tahun 224 H. (839 M), dan meninggal 310 H. Tafsir al-Tabariy ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid al-Tabariy. Beliau dikenal sebagai tokoh penting dalam jajaran penafsir Al-Qur’an. Lewat karya besarnya yakni kitab tafsir Jami’ al Bayan Fi Tafsir al- Qur’an yang menjadi rujukan para ulama tafsir kontenporer.

            Metodologi penulisan At-Thabariy
a.       Menempuh jalan tafsir dan atau takwil
b.       Melakukan penafsiran ayat dengan ayat
c.        Menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
d.       Bersandar pada analisis bahasa
e.        Memperhatikan aspek I’rab   
f.        Memaparkan ragam qiraat dalam mengungkap makna ayat




[1].  Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 379-380
[2] . Husain al-Dzahabi, Tafsir wal Mufassirun, juz I  (Cet.V; kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h. 215.
[3]. Muhammad Razi. 50 Ilmuwan Muslim Populer. (cet. I ; Jakarta: Qultum Media, 2005). h. 109.

[4]. Ahmad  Muhammad al-Hufiy, al-Tabariy (Cairo: al-Ahram al-Tijariyyah, 1390 H / 1970 M), h.11.
[5] . Ibid, h. 134.
[6]. Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet.V; Bogor: litera AntarNusa, 2000), h. 502.
[7]. Fadh ibn Abd al-Rahman al-Rumy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan Amrul Hasan Ulum al-Qur’an Studi Kompleksitas al-Qur’an ( Cet. I ; Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), h.199

[8]. Ibid., h.203
[9] . M. Fatih Surya Dilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, cet. 3(Yogyakarta: Teras, 2010), h.41-42

2 comments:

  1. 26-09-2012
    Ibnu Jarir Ath Thobari adalah seorang Ulama’ klasik yang faqih, ahli hadits, muqri’ (pakar qira’at), serta seorang Mujtahid. Karena pengikut beliau tak sebanyak sebagaimana Ulama’ 4 madzhab, ia kurang menjadi perhatian . Akan tetapi, Beliau mengungkapkan pendapatnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh imam 4 madzhab yang 4 (Syafi’I, Hambali, Maliki, Hanafi .Red)
    Setiap ulama’ pasti memiliki tawajjuh khos / mapping setiap akan menyampaikan sesuatu. Zaman dahulu, penulisan tafsir ini bersamaan dengan penulisan hadits, jadi dalam kitab tafsirnya beliau banyak meriwayatkan berbagai macam hadits dalam menulis tafsirnya.
    Karakteristik atau corak penafsiran itu bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Ex. Karakteristik penafsiran ayat-ayat kauniyah marak ketika pada saat itu umat muslim terpuruk. Kebanyakan Ulama’ tidak membedakan ta’wil atau tafsir.
    Syarat bacaan (Qiraat) bisa diterima :
    1. Sanad yang muttasil (jika al quran maka harus mutawatir)
    2. Kaidah bahasa arab (karena bahasa arab harus tunduk kepada a quran)
    3. Sesuai dengan rasm utsmani

    ReplyDelete
  2. Grand Junction Casino Hotel & Racetrack - MapYRO
    The Grand Junction 이천 출장샵 Casino is a casino hotel and 김천 출장마사지 racetrack in the beautiful Las Vegas area of 구미 출장샵 Colorado. It is home to 40000 square feet 청주 출장마사지 of gaming 부산광역 출장샵

    ReplyDelete