Bahtsul Kutub Tafsir Jami’ al-bayan
fi Ta’wili al-Quran
Karya Ath-Thabariy
BAB I
Pendahuluan
Al-Quran
adalah sumber ajaran Islam. Kitab suci itu, menempati posisi sentral, bukan
saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan
inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat islam sepanjang empat belas
abad sejarah pergerakan umat ini.
Dimasa
silam, perhatian ulama tafsir terhadap metodologis dalam penafsiran al-Quran
boleh disebut sangat kurang. Mereka lebih cenderung langsung membahas wacana,
tanpa berpikir atau menetapkan terlebih dahulu teori-teori atau kaidah-kaidah
yang digunakan untuk sampai pada wacana tersebut. Namun tidak berarti mereka
tidak mempunyai teori tentang itu, malah tidak mustahil pada umumnya mereka
menguasai teori itu dengan baik, karenanya mereka merasa tak perlu membahasnya
sebab sia-sia karena tidak akan mendapat perhatian yang berarti dari khalayak.[1]
Banyak
cara untuk mempelajari penafsiran
oleh para Mufassir pada zaman dahulu salah satun ya dengan membahas kitab Jami’il Bayan Fi Ta’wilil Qur’an Tafsir
At-Thabari yang telah lama menjadi rujukan oleh para mufassir sampai masa
sekarang, karena tidak hanya mengedepankan akal fikiran semata tetapi juga
menggunakan tafsir bil ma’tsur.
BAB II
Pembahasan
A.
Biografi Penulis
Ibnu Jarir
at-Tabariy adalah seorang ahli tafsir terkenal dan sejarawan terkemuka. Nama
lengkap at-Tabari adalah Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ja’far Ibnu Yazid Ibnu Kasir. Ibnu Ghalib at-Tabari (selanjutnya disebut dengan
at-Tabari). Ia di lahirkan di Amul ibu kota Tabaristan, kota ini merupakan salah satu propinsi di Persia
dan terletak di sebelah utara gunung Alburz, selatan laut Qazwin. Pada
tahun 224/225H atau sekitar tahun 839-840. Ada juga yang mengatakan bahwa nama
lengkapnya adalah Yazid ibn Kasir ibn Galib. Ia dilahirkan di kota Amul,
ibukota Tabariystan Iran pada tahun 224 H. (839 M), dan meninggal 310 H.[2]
At-Tabariy
hidup pada masa Islam berada dalam kemajuan dan kesuksesan dalam bidang
pemikiran. Iklim seperti ini secara ilmiyah mendorongnya mencintai ilmu
semenjak kecil. at-Tabari juga hidup dan berkembang dilingkungan keluarga yang
memberikan perhatian besar terhadap masalah pendidikan terutama bidang
keagamaan. Mengkaji dan menghafal al-Qur’an merupakan tradisi yang selalu ditanamkan
dengan subur pada anak keturunan mereka termasuk at-Tabari. Dedikasinya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan sudah
terlihat semenjak ia masih kanak-kanak. Salah satu prestasinya adalah ia telah
menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun. Hal itu tentu saja sesuatu hal yang
sangat fenomenal, mengingat Imam Syafi’i menghafal Al-Qur’an pada usia 9 tahun
dan Ibnu Sina sekitar 10 tahun.[3]
Al-Tabariy
berkelana mencari ilmu, silih berganti guru-guru yang didatanginya, begitupun
kota-kota yang dikunjunginya dalam rangka menuntut ilmu. Setelah selesai di
Persia, ia berkunjung ke Irak dan ketika dalam perjalanan menuju bagdad ia
mendengar wafatnya Imam ibn Hambal (w. 863)
lalu ia berguru ke Basrah dengan Ibnu al-A’la al-Hamzaniy, Hannad Ibn
al-Sayriy dan Ismail ibn Musa dan dalam bidang fiqh khususnya mazhab Syafi’I ia
berguru pada al-Hasan ibn Muhammad al-Za’faraniy. Dari Irak ia menuju ke Mesir,
dalam perjalanan kesana ia singgah di Beirut untuk memperdalam ilmu qira’at,
kepada al-Abbas ibn al-Walid al-Bairuniy, di Mesir ia bertemu dengan sejarawan
kenamaan yakni Ibnu Ishaq dan atas jasanyalah al-Tabariy mampu menyusun karya
sejarahnya yang terbesar yaitu Kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk .[4]
Di Mesir,
ia juga mempelajari mazhab Maliki disamping ia menekuni mazhab Syafi’I yang ia
pelajari dari murid langsung imam
Syafi’I yaitu al-Rabi Jiziy. Selama ia di Mesir semua ilmuan dating menemuinya
sambil mengujinya sehingga ia semakin terkenal. Dari Mesir ia kembali ke negeri
asalnya Tabariystan, tapi rupanya Allah berkehendak lain yakni pada tahun 310 H
(923 M) dengan usia 85 tahun ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Bagdad.
[5]
Al-Tabariy
begitu arif dan bijaksana, beliau tidak memandang rendah orang lain meskipun
Allah swt, memberikan kelebihan dan kemampuan yang tidak lazim dimiliki oleh
orang kebanyakan. Dengan ilmunya yang tinggi, semakin mendekatkannya kepada
sang yang maha Kuasa, dan semakin bijaksana menyikapi persoalan-persoalan
duniawi.
Al-Tabariy
adalah salah seorang tokoh terkemuka yang menguasai berbagai disiplin ilmu dan
telah meninggalkan warisan ke-Islaman cukup besar yang senantiasa mendapat
sambutan dan apresiasi baik di setiap masa dan generasi. Ia mendapatkan
popularitas luas melalui dua buah karyanya Tarikhul Umam wal Muluk tentang
sejarah dan Jami’ al Bayan fi Tafsir al- Qur’an tentang tafsir. Kedua buku
tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan ilmiah penting. Bahkan buku
tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para mufassir yang menaruh perhatian
terhadap Tafsir bi al-ma’sur,[6]
disamping karya-karya lainnya yang berhasil ia tulis. Secara tepat belum
ditemukan data mengenai jumlah buku yang berhasil diproduksi dan
terpublikasikan yang pasti dari catatan sejarah membuktikan bahwa karya-karya
al-Tabariy meliputi banyak bidang keilmuan diantaranya; Bidang Hukum, Tafsir,
Hadis, Teologi, Etika Religius dan Sejarah
B. Metodologi Penafsiran At-Thabariy
Kajian Al-Qur’an kian memperkaya khasanahkeilmuan dalam
peradaban Islam dari masa ke masa, produk kajian tersebut cukup beragam dan
cenderung sesuai dengan potensi pengetahuan dan spesialisasi para penafsirnya,
demikian juga dengan Ibnu Jarir al-Tabariy yang menguasai berbagai disiplin
ilmu pengetahuan yang tentunya ikut mewarnai corak dalam menetapkan makna dan
kandungan Al-Qur’an.
Ibnu Jarir
al-Tabariy dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik pasca
tabi’ tabi’in, karena lewat karya yang monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an, mampu memberikan inspirasi baru bagi penafsir sesudahnya[22]. Tafsir
al-Tabariy dijadikan referensi utama oleh para penafsir sesudahnya, karena
keluasan dan kedalaman pembahasan penafsirannya.
Adapun
langkah-langkah Ibnu Jarir al-Tabariy dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah
sebagai berikut:
1.
Berlandaskan Penafsiran Bil-ma’tsur
Penafsiran bi al-Matsur adalah salah
satu model tafsir yang paling utama dan tertinggi kedudukannya bila
dibandingkan dengan model tafsir yang lain, karena dengan menafsirkan Al-Qur’an
menggunakan kalam Allah sendiri, perkataan Rasulullah saw., dan periayatan para
sahabat. Allah lebih mengetahui akan maksud dan ucapan-Nya, perkataan
Rasulullah adlah penjelasnya dan para sahabat adalah orang-orang yang
menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.[7]
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam hal ini,
memulai menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan mencari tafsiran suatu ayat dari ayat
Al-Qur’an yang lain, karena ia yakin bahwa ayat-ayat Al-Qur’an adalah satu mata
rantai yang tak bisa dipisahkan, seperti ketika beliau menafsirkan kata الظلم
pada surat al-An’am ayat 82 dengan kata الشرك
yang ternyata tafsiran tersebut diambil dari surat Lukman ayat 13.
Ibnu Jarir al-Tabariy juga banyak
menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis, ia sangat teliti dalam mengemukakan
jalan-jalan periwayatan sampai kepada pemabawa berita pertama (al-rawi A’la) .
Penafsirannya selalu diperkuat dengan riwayat-riwayat dan jika pada
penafsiran itu terdapat dua pendapat
atau lebih maka ia memaparkan semuanya, ia tidak semata-mata menyebutkan
riwayat saja tetapi kadang dijelaskan secara rinci dan pada gilirannya
mentarjih riwayat-riwayat tersebut.[8]Al-Tabariy
tidak begitu saja menafsirkan Al-Qur’an tetapi di dasari berbagai macam
pengembaraan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga wajar saja jika
hasil pikirannya dijadikan referensi oleh para penafsir sesudahnya.
2. Corak Penafsiran At-Thabariy
Ibnu Jarir al-Tabariy menguasai
berbagai disiplin ilmu teramsuk didalamnya fiqh, maka tidak diherankan jika
dalam menafsirkan ayat-ayat hukum beliau selalu mengungkap pendapat ulama yang
punya keterkaitan dengan masaalah yang dimaksud, lalu mengemukakan pendapatnya.
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam
menyelesaikan persoalan fiqh, maka beliau menjelaskan semua pendapat ulama
tentang hal itu, kemudian dikemukakan pendapatnya mengenai masalah tersebut.
Seperti ketika ia menafsirkan QS. al-Nahl (16):8:
تعلمون لا ما ويخلق وزينة لتركبوها والحمير والبغال
والخيل
Ibnu Jarir al-Tabariy ketika menafsirkan maksud ayat di
atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan pendapat semua ulama tentang hukum
makan kuda, kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa ayat tersebut tidak
menunjukkan kepada pengharaman.
3.
Metode Penafsiran At-Thabariy
Metode penulisan yang digunakan
al-Tabariy adalah metode tahlili
di mana beliau menafsirkan ayat
Al-Qur’an secara keseluruhan berdasarkan susunan mushaf, ia menjelaskan ayat
demi ayat, dengan menjelaskan makna mufradat-nya serta beberapa kandungan
lainnya.
Metode
Tahlili adalah metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an
dari seluruh aspeknya Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir
tahlili diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah,
dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat..[9]
Ibnu Jarir al-Tabariy menaruh
perhatian yang sangat besar terhadap masalah qira’at dan memaparkan berbagai
macam qira’at dan menghubungkannya masing-masing qira’at tersebut dengan makna
yang berbeda kemudian menjelaskan mana qiraat yang paling kuat.
Terkadang ia menolak suatu qira’at
jika tidak disandarkan kepada tokoh-tokoh atau ulama-ulama qira’at sebagai
qira’at yang bisa dijadikan argumentasi, Seperti dalam mengomentari firman
Allah Qs. al-Anbiya (21):81:
ولسليمان الريح عاصفة
diterangkan
oleh al-Tabariy bahwa pada umumnya para ahli qiraat membaca الريح dalam ayat tersebut dengan anggapan bahwa kata tersebut adalah مفعول به dari kata kerja سخرنا pada ayat sebelumnya yakni QS. al-Anbiya
(21): 79:
وسخرنا مع داود
Sedangkan menurut Imam Abdul Rahman al-A’raj, dibaca الريح karena dianggapnya sebagai مبتدء . Kemudian al-Tabariy berkata: “Adapun
bacaan yang tidak dibenarkan adalah selain dari yang dua macam itu, karena
selain keduanya tidaklah dianut oleh para ahli qira’at dan tidak mereka sepakati.
Ibnu Jarir al-Tabariy selalu memperhatikan perbendaharaan
kosa kata dalam dalam memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an seperti
ketika menafsirkan kata al-buruj (البروج)
pada ayat pertama surah al-buruj.
Ibnu Jarir al-Tabariy dalam hal ini memaparkan beberapa
makna dari kata al-buruj yaitu sesuatu yang nampak, kata ini sering digunakan
dalam arti bangunan besar atau istana yang tinggi karena kebesaran dan
ketinggiannya menjadikan ia tampak, benteng juga dinamakan al-buruj karena ia biasanay merupakan bangunan pertama
yang Nampak sebelum memasuki kota. Apapun makna menurutnya, yang jelas ayat ini
bermaksud menggambarkan sesuatu yang agung.
Setelah memaparkan beberapa makna dari al-buruj barulah
beliau menyimpulkan bahwa kata al-buruj adalah bentuk jamak dari al-burj, yang
berarti gugusan bintang yakni letak bintang yang tampak di langit dalam bentuk
yang beragam.
BAB
III
Penutup
A.
Kesimpulan
Nama lengkap al-Tabariy
adalah Abu Jafar Muhammad bin Jarir Ath Thabari. Sesuai dengan namanya,
dapat diketahui bahwa beliau dilahirkan di Tabariystan, wilayah pegunungan di Persia ( sekarang
termasuk wilayah Iran) yang tepatnya terletak di sebelah selatan laut Kaspia. Ia dilahirkan di kota Amul, ibukota
Tabariystan Iran pada tahun 224 H. (839 M), dan meninggal 310 H. Tafsir
al-Tabariy ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid
al-Tabariy. Beliau dikenal sebagai tokoh penting dalam jajaran penafsir Al-Qur’an.
Lewat karya besarnya yakni kitab tafsir Jami’ al Bayan Fi Tafsir al- Qur’an
yang menjadi rujukan para ulama tafsir kontenporer.
Metodologi
penulisan At-Thabariy
a.
Menempuh jalan tafsir dan atau takwil
b.
Melakukan penafsiran
ayat dengan ayat
c.
Menafsirkan Al-Qur’an
dengan sunnah
d.
Bersandar pada
analisis bahasa
e.
Memperhatikan aspek
I’rab
f.
Memaparkan ragam
qiraat dalam mengungkap makna ayat
[1]. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 379-380
[2] . Husain al-Dzahabi,
Tafsir wal Mufassirun, juz I (Cet.V; kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h.
215.
[5] . Ibid, h. 134.
[6]. Manna Khalil al-Qattan, Mabahits
fi ‘Ulum al-Qur’an, diterjemahkan oleh Mudzakir AS dengan judul Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet.V; Bogor: litera AntarNusa, 2000), h. 502.
[7]. Fadh ibn Abd al-Rahman al-Rumy, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, diterjemahkan Amrul Hasan Ulum al-Qur’an
Studi Kompleksitas al-Qur’an ( Cet. I ; Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), h.199
26-09-2012
ReplyDeleteIbnu Jarir Ath Thobari adalah seorang Ulama’ klasik yang faqih, ahli hadits, muqri’ (pakar qira’at), serta seorang Mujtahid. Karena pengikut beliau tak sebanyak sebagaimana Ulama’ 4 madzhab, ia kurang menjadi perhatian . Akan tetapi, Beliau mengungkapkan pendapatnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh imam 4 madzhab yang 4 (Syafi’I, Hambali, Maliki, Hanafi .Red)
Setiap ulama’ pasti memiliki tawajjuh khos / mapping setiap akan menyampaikan sesuatu. Zaman dahulu, penulisan tafsir ini bersamaan dengan penulisan hadits, jadi dalam kitab tafsirnya beliau banyak meriwayatkan berbagai macam hadits dalam menulis tafsirnya.
Karakteristik atau corak penafsiran itu bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Ex. Karakteristik penafsiran ayat-ayat kauniyah marak ketika pada saat itu umat muslim terpuruk. Kebanyakan Ulama’ tidak membedakan ta’wil atau tafsir.
Syarat bacaan (Qiraat) bisa diterima :
1. Sanad yang muttasil (jika al quran maka harus mutawatir)
2. Kaidah bahasa arab (karena bahasa arab harus tunduk kepada a quran)
3. Sesuai dengan rasm utsmani
Grand Junction Casino Hotel & Racetrack - MapYRO
ReplyDeleteThe Grand Junction 이천 출장샵 Casino is a casino hotel and 김천 출장마사지 racetrack in the beautiful Las Vegas area of 구미 출장샵 Colorado. It is home to 40000 square feet 청주 출장마사지 of gaming 부산광역 출장샵